Masyarakat Tak Percaya Busung Lapar Adalah Masalah Nasional
Sugiyan, anak laki-laki, lahir 27 Mei 2005 di Belawae, kecamatan Mare, Bone, Sulawesi Selatan. Usia 10 bulan, berat badan 6,4 kg.
MEMANG tak mudah mempercayai kenyataan buruk yang terjadi di negeri kita ini. Busung lapar! Kita sulit menerimanya.
Para cendekiawan --yang notabene (catat baik-baik, artinya!!!) adalah para intelektual yang mendukung pelembagaan akal budi dan menjamin integritas serta tingginya martabat masyarakat-- menyatakan dengan jelas keragu-raguannya, keheranannya dan rasa kurang mengerti yang dialaminya, bahwa busung lapar bisa terjadi di tempat-tempat yang tak berjauhan dari tempat mereka tinggal. Teman-teman bisa mengacu pada berita di surat kabar berwibawa di Sulawesi Selatan ini.
Mungkinkah seorang ahli sejarah termasyhur bereputasi nasional, bahkan juga internasional, sulit mengerti mengapa di Sulawesi Selatan yang dikenal menjadi "gudang beras" didapati banyak anak yang menderita busung lapar? Barangkali lebih baik diam merenung daripada menyatakan sikap hati kecut dan kecewa pada kenyataan yang sungguh nyata ini. Sebab, fenomena busung lapar di Indonesia sudah tak mungkin dibantah. Satu contoh anak bernama Sugiyan dari Belawae, kecamatan Mare, Bone, Sulawesi Selatan, telah cukup memberi kepastian pada kita bahwa banyak anak sebayanya sekarang ini sedang menderita situasi kesehatan buruk yang sama. Fakta tak terbantahkan itu serta-merta akan mendorong Anda membela mereka ata, sebaliknya, Anda malu, tak mengakui mereka dan celakanya, tanpa sadar Anda bisa justru meniadakan atau memusuhi mereka.
Lalu, apa kata tentara kita?
Contoh lain. Seorang pemuka mantan serdadu berpangkat jenderal juga tak kalah mengherankan kita bagaimana perspektifnya dalam memandang masalah kemiskinan absolut yang menjelmakan gejalanya dalam penderitaan anak-anak di Indonesia. Coba teman-teman baca kutipan berikut ini dari sebuah media pemantau masalah gizi.
Sayang, tampaknya kutipan ini sudah merupakan "olahan" dari sang wartawan penulisnya. Tapi, singkat dan ringkasnya, gitu, rupanya hendak dikatakan, busung lapar akan melahirkan generasi para preman. Bukankah preman-preman tak pernah menjadi hitungan resmi dalam program pemerintah atau dari program siapa pun, termasuk organisasi-organisasi masyarakat sipil? Padahal bukankah para preman sering dipakai jika ada kepentingan politik-ekonomi yang melatarbelakangi kepentingan mereka yang berkuasa, tak kurang juga dari kalangan pemerintah?
Jika demikian, para korban penderita busung lapar dianggap sejajar atau bahkan sama dengan preman. Konsekuensinya, mereka juga tak selayaknya dibantu agar bisa mengatasi dan menanggulangi kesulitan hidup mereka. Alias, biarkanlah mereka menyelesaikan masalah mereka itu sendiri. Kelanjutannya sangat mengkhawatirkan. Yang sangat mungkin terjadi adalah kematian anak-anak yang tak tahu lagi bagaimana mendapatkan makanan itu. Jika ada bantuan (pemerintah), pelaksanaannya akan setengah-setengah. Dampaknya akan jauh lebih buruk daripada jika ditangani secara sungguh-sungguh. Setidaknya mulai dengan meluruskan cara berpikir kita, bagaimana cara kita memandang masalah kelaparan di Indonesia ini.***
<< Kembali
MEMANG tak mudah mempercayai kenyataan buruk yang terjadi di negeri kita ini. Busung lapar! Kita sulit menerimanya.
Para cendekiawan --yang notabene (catat baik-baik, artinya!!!) adalah para intelektual yang mendukung pelembagaan akal budi dan menjamin integritas serta tingginya martabat masyarakat-- menyatakan dengan jelas keragu-raguannya, keheranannya dan rasa kurang mengerti yang dialaminya, bahwa busung lapar bisa terjadi di tempat-tempat yang tak berjauhan dari tempat mereka tinggal. Teman-teman bisa mengacu pada berita di surat kabar berwibawa di Sulawesi Selatan ini.
Mungkinkah seorang ahli sejarah termasyhur bereputasi nasional, bahkan juga internasional, sulit mengerti mengapa di Sulawesi Selatan yang dikenal menjadi "gudang beras" didapati banyak anak yang menderita busung lapar? Barangkali lebih baik diam merenung daripada menyatakan sikap hati kecut dan kecewa pada kenyataan yang sungguh nyata ini. Sebab, fenomena busung lapar di Indonesia sudah tak mungkin dibantah. Satu contoh anak bernama Sugiyan dari Belawae, kecamatan Mare, Bone, Sulawesi Selatan, telah cukup memberi kepastian pada kita bahwa banyak anak sebayanya sekarang ini sedang menderita situasi kesehatan buruk yang sama. Fakta tak terbantahkan itu serta-merta akan mendorong Anda membela mereka ata, sebaliknya, Anda malu, tak mengakui mereka dan celakanya, tanpa sadar Anda bisa justru meniadakan atau memusuhi mereka.
Lalu, apa kata tentara kita?
Contoh lain. Seorang pemuka mantan serdadu berpangkat jenderal juga tak kalah mengherankan kita bagaimana perspektifnya dalam memandang masalah kemiskinan absolut yang menjelmakan gejalanya dalam penderitaan anak-anak di Indonesia. Coba teman-teman baca kutipan berikut ini dari sebuah media pemantau masalah gizi.
Fenomena kekurangan gizi yang dialami sebagian besar anak Indonesia, terutama yang hidup di bawah garis kemiskinan, dalam perkembangannya bisa menghasilkan generasi yang lemah, baik fisik maupun non fisik. Bahkan bisa diikuti lemahnya kepekaan hati nurani, yang akibatnya akan menjadi generasi "pecundang". Realitasnya, dalam menghadapi setiap permasalahan yang timbul terutama menyangkut kehidupan, mereka tak jarang selalu disikapi dengan "otot" bukan dengan "otak". Akibatnya dalam menyampaikan aspirasi kerapkali menimbulkan anarkis.
Sayang, tampaknya kutipan ini sudah merupakan "olahan" dari sang wartawan penulisnya. Tapi, singkat dan ringkasnya, gitu, rupanya hendak dikatakan, busung lapar akan melahirkan generasi para preman. Bukankah preman-preman tak pernah menjadi hitungan resmi dalam program pemerintah atau dari program siapa pun, termasuk organisasi-organisasi masyarakat sipil? Padahal bukankah para preman sering dipakai jika ada kepentingan politik-ekonomi yang melatarbelakangi kepentingan mereka yang berkuasa, tak kurang juga dari kalangan pemerintah?
Jika demikian, para korban penderita busung lapar dianggap sejajar atau bahkan sama dengan preman. Konsekuensinya, mereka juga tak selayaknya dibantu agar bisa mengatasi dan menanggulangi kesulitan hidup mereka. Alias, biarkanlah mereka menyelesaikan masalah mereka itu sendiri. Kelanjutannya sangat mengkhawatirkan. Yang sangat mungkin terjadi adalah kematian anak-anak yang tak tahu lagi bagaimana mendapatkan makanan itu. Jika ada bantuan (pemerintah), pelaksanaannya akan setengah-setengah. Dampaknya akan jauh lebih buruk daripada jika ditangani secara sungguh-sungguh. Setidaknya mulai dengan meluruskan cara berpikir kita, bagaimana cara kita memandang masalah kelaparan di Indonesia ini.***
<< Kembali